Kamis, 11 Juni 2015

PRAKSEOLOGI MISESIAN MENURUT GEORGE H. SMITH

Catatan pembuka:

Kesibukan dengan "entah apa" membuat saya berhenti menulis dan beraktivitas sejenis selama beberapa bulan. Ini tentu saja sebuah situasi yang biasa-biasa saja bagi seseorang yang tidak menganggap dirinya sebagai penulis. Saya hanya menulis ketika ada yang saya pikirkan dan hendak saya bagikan dengan orang lain. Tapi, sementara di satu sisi saya tidak sanggup untuk berhenti berpikir, di sisi lainnya saya tidak merasa harus membagi semua yang saya pikirkan dengan orang lain. Karena itulah saya tidak merasa kuatir bahwa saya telah berhenti menulis dalam waktu yang cukup lama.

Akan tetapi, dalam beberapa bulan terakhir ini, seorang kawan, Juan Mahaganti, terus menerus mengganggu saya dengan "hobi barunya," yakni prakseologi Misesian. Ekonom libertarian muda ini telah memberondong saya secara berturut-turut dengan empat kali diskusi hari Sabat yang dilaksanakan AMAGI mengenai isu tersebut. Sementara itu, kursus filsafat yang saya laksanakan dengan kawan-kawan Kelompok Belajar Filsafat (KBF Manado), sedang berputar-putar dalam materi epistemologi yang, secara kebetulan, memiliki kaitannya dengan hobi Juan yang telah menjadi persoalan saya itu.

Maka agar tetap tampak peduli dengan kedua "tugas" tersebut, saya akan mengajukan terjemahan kasar dari tulisan George H. Smith, penulis favorit saya, tentang prakseologi Misesian, yang saya akses dari sini.

Selamat membaca.

PRAKSEOLOGI MISESIAN MENURUT GEORGE H. SMITH

(terjemahan kasar atas Sosial Laws, Part 7 oleh George H. Smith)

Ludwig von Mises
Esai ini bermaksud menyentuh beberapa hal menyangkut prakseologi – sebuah istilah yang dikemukakan selama tahun 1890an untuk menggambarkan sains tentang tindakan manusia – sebagaimana yang dikembangkan oleh Ludwig von Mises, terutama dalam bukunya Human Action: A Treatise on Economics (3rd ed., 1963). Saya menilai buku ini sebagai salah satu dari sumbangan teoritis terbesar bagi liberalisme klasik yang pernah ditulis, kedua setelah buku Adam Smith Wealth of Nations. Human Action adalah sebuah karya orisinal dan monumental tidak hanya dalam ilmu ekonomi tapi juga teori sosial pada umumnya; namun, di luar lingkaran pasar-bebas, buku ini tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya. Ini sebagiannya dikarenakan pendekatannya yang eksentrik, sebagaimana penilaian dalam standar akademis konvensional. Teori-teori besar dari jenis yang dipertahankan oleh Mises telah dianggap ketinggalan zaman selama beberapa dekade, dan pembelaan Mises atas “apriorisme” telah membuat pendekatannya tampak menjadi sasaran mudah bagi kritik, termasuk oleh beberapa libertarian, yang kebanyakan dari mereka menunjukkan tidak cukup pemahaman pada bahkan titik-titik esensial yang dipertahankan Mises.

Ini tidak berarti saya menyetujui semua detail dari prakseologi Misesian. Tidak, tapi saya tahu kejeniusan saat saya melihatnya. Di antara para liberal klasik abad 20, hanya F.A. Hayek yang bisa menandingi Mises; dan tanpa bermaksud mengurangi pencapaian Hayek, saya harus menyebutkan fakta yang tidak menguntungkan namun jelas bahwa Hayek lebih dianggap serius dan memperoleh perhatian dalam lingkaran akademis lebih daripada Mises. Ada sejumlah alasan bagi ketidakseimbangan ini, yang tidak bisa saya bahas di sini. Tapi saya harus mencatat bahwa Mises, tidak seperti Hayek, adalah pendukung kuat “rasionalisme” Pencerahan yang tidak berbagi kecenderungan konservatif sebagaimana Hayek, misalnya Mises tidak menganggap perlu untuk menghormati adat dan tradisi jika tidak bisa dibenarkan secara rasional. Tambahan lagi, Mises tidak terperosok dalam spekulasi salah arah mengenai evolusi sosial dan moral, sebagaimana Hayek dalam tulisan-tulisan terakhirnya.

Prakseologi Misesian, yang berkaitan dengan hubungan formal antara cara dan tujuan dalam tindakan manusia, adalah sebuah disiplin komprehensif yang tidak hanya berlaku dalam ilmu ekonomi tapi juga ilmu-ilmu sosial lainnya. Di luar kesepakatan umum mengenai pokok soal ilmu ekonomi, Mises berargumentasi bahwa kita tidak bisa menarik garis terang antara tindakan ekonomi dengan tipe lain dari perilaku yang mengarah pada tujuan. Karena “pilihan menentukan semua keputusan manusia,” maka kita mesti mendasarkan analisa kita atas aktivitas ekonomi pada sebuah “teori umum mengenai pilihan dan preferensi.”

Jadi Mises menolak konsep klasik mengenai “manusia ekonomi” sebagai konsep yang terlalu sempit. Secara khusus, ekonomi berkaitan dengan implikasi logis dari tindakan manusia, kemestian memilih di antara kelangkaan cara dalam mencapai tujuan. Tapi ini menggambarkan seluruh tindakan manusia, tidak hanya tindakan ekonomi, maka tidak ada yang unik mengenai pilihan ekonomi yang secara fundamental bisa memisahkannya dari jenis pilihan yang lain. Mises menyimpulkan:
Problem ekonomi atau problem kataliktik (dari bahasa Yunani yang berarti “mempertukaran”) termuat dalam ilmu-ilmu yang lebih umum, dan tidak bisa lagi dipisahkan dari kaitan ini. Tidak ada penyelesaian atas problem ekonomi yang bisa menghindar untuk memulai dari tindakan memilih; ekonomi menjadi satu bagian, meskipun saat ini merupakan bagian yang dielaborasi paling baik, dari ilmu yang lebih universal, prakseologi.
Kita bisa lebih mengapresiasi upaya untuk mendasarkan ilmu ekonomi pada ilmu universal mengenai tindakan manusia ini jika kita melihat prakseologi dari sudut pandang historis. (Buku Mises Epistemological Problems of Economics adalah bacaan esensial dalam soal ini.) Ada pengertian di mana prakseologi Misesian merupakan solusi, sekalipun terlambat, terhadap Methodenstreit (perang metode) antara para ekonom Austria (khususnya Carl Menger) dengan Mazhab Historis Prussia. Para pendukung historisisme, menurut Mises, “berupaya menolak nilai dan kegunaan teori ekonomi. Historisisme bertujuan untuk menggantinya dengan sejarah ekonomi.”

Di luar ketidaksukaannya pada historisisme, Mises bersetuju dengan penolakan mereka pada positivisme, yang “merekomendasikan ilmu sosial ilusif yang seharusnya mengadopsi struktur dan pola logika dari mekanika Newtonian.” Mises menekankan bahwa ilmu ekonomi harus memperhitungkan nilai keputusan, tujuan, pilihan, dan berbagai aspek subyektif tindakan manusia lainnya. Karena itu Mises bergabung dengan musuh-musuh historisisnya dalam menolak “kesatuan sains” yang hendak dicapai oleh positivisme dengan memusnahkan ilmu-ilmu manusia yang berkaitan dengan segala sesuatu yang benar-benar manusia. Malahan Mises mendukung sebentuk “dualisme metodologis” yang mengusulkan “dua dunia berbeda: dunia luar dari fenomena fisik, kimia, dan fisiologis serta dunia pemikiran, perasaan, penilaian, dan tindakan bertujuan.”

Mises sangat dipengaruhi oleh teori historisis mengenai Verstehen (pemahaman), terutama versi yang diintegrasikan Max Weber ke dalam teorinya mengenai “tipe-tipe ideal.” (Baca bagian “On Ideal Types” dalam Human Action.) Verstehen, sejenis empati, adalah metodologi tersendiri menyangkut disiplin historis. Ia adalah alat mental yang memungkinkan sejarawan memahami makna subyektif dari tindakan historis tertentu dan motif dari manusia individual.

Aliansi separuh dengan historisisme ini meninggalkan masalah yang secara potensial sangat serius bagi Mises. Jika, seperti yang diklaim oleh banyak historisis, Verstehen adalah metode yang layak dalam berurusan dengan aspek-aspek subyektif tindakan manusia, maka ia harus digunakan tidak hanya dalam sejarah tapi juga dalam setiap ilmu manusia, termasuk ekonomi. Tapi ini akan mengubah ilmu ekonomi menjadi apa yang disebut oleh filsuf Wilhelm Windelbandt ilmu “idiografik”, yakni disiplin ilmu yang terbatas pada studi mengenai partikular-partikular unik. Jika Mises menerima Verstehen sebagai metode utama penalaran ekonomi, maka ilmu ekonomi akan dipaksa untuk meninggalkan pencariannya atas hukum-hukum universal dari jenis yang ditemukan dalam ilmu-ilmu “nomotetik.” Dan inilah yang dimaksud Mises saat dia berkata bahwa historisisme hendak mengganti teori ekonomi dengan sejarah ekonomi.

Jadi Mises berhadapan dengan masalah pemetaan antara historisisme dengan positivisme. Historisisme menawarkan sebuah metodologi subyektivis yang tidak mampu memformulasikan hukum-hukum universal; sedangkan positivisme menawarkan pada ilmu ekonomi status ilmu nomotetik yang universal tapi hanya dengan menghabisi orientasi subyektifnya.

Mises menemukan solusi bagi permasalahan ini dalam prakseologi, sebuah ilmu nomotetik yang tiba pada prinsip-prinsip umum dengan mengabstraksi bentuk universal tindakan manusia dari muatan materialnya. Sebagaimana yang dijelaskan Mises, “Prakseologi tidak berurusan dengan muatan tindakan yang berubah-ubah, tapi dengan bentuk murni dan struktur kategorisnya. Studi mengenai hal aksidental dan environmental dari tindakan manusia adalah tugas sejarah.”

Berkaitan erat dengan formalisme prakseologi adalah klaim bahwa ilmu ini dimulai dengan kategori-kategori, bentuk-bentuk, serta konsep-konsep a priori sebelum tiba pada sejumlah teorema dan konklusi lewat penalaran deduktif murni, tanpa pernah tertarik dengan fakta-fakta yang diperoleh dari pengalaman. Pengetahuan manusia, menurut Mises, dikondisikan oleh struktur pikiran manusia. Bekerja di dalam kerangka kuasi-Kantian ini, Mises berkata soal prakseologi: “Pernyataan dan proposisi-proposisinya tidak diperoleh dari pengalaman. Mereka, sama halnya dengan logika dan matematika, bersifat a priori… Baik secara logis maupun secara temporal, mereka mendahului pengertian dari fakta-fakta (empiris).” Lebih lanjut, “tidak ada pengalaman, sekaya apapun, yang bisa menyingkap (teorema-teorema prakseologis) pada seseorang yang tidak mengetahui secara a priori apa itu tindakan manusia. Satu-satunya cara bagi pengertian atas teorema-teorema ini adalah analisa logis terhadap pengetahuan inheren kita mengenai kategori tindakan.”

Tak diragukan lagi, apriorisme merupakan aspek yang paling kontroversial dari prakseologi. Sekalipun secara tegas Mises tidak bersepakat dengan pandangan bahwa penalaran a priori tidak mampu menghasilkan pengetahuan faktual, sangat melekat dalam pikiran modern kebanyakan ekonom bahwa metode a priori akan sepenuhnya mencopot disiplin mereka dari semua relevansi dan otoritas empiris, hingga cenderung mengeluarkan prakseologi dari kajian mereka tanpa pertimbangan lebih jauh.

Bahkan beberapa pendukung kuat prakseologi telah mengungkapkan ketidaksetujuan mereka dengan landasan Misesian. Contohnya, Murray Rothbard berargumentasi bahwa prakseologi bisa melepaskan apriorisme tanpa mengalami akibat buruk apapun. Penalaran prakseologis akan sama aman jika didasarkan pada empirisisme Aristotelian. Teori epistemologi ini menjelaskan bagaimana, lewat proses abstraksi, kita bisa secara mental memisahkan “esensi” tindakan manusia dari pengamatan kita atas tindakan-tindakan partikular dan dengan demikian mengisolasi sebuah konsepsi murni mengenai “tindakan” untuk tujuan analisa. Setelah itu, jika seorang Aristotelian mengikuti metode deduktif yang diusulkan Mises, dia akan tiba pada konklusi yang sama, dan dia akan bisa membenarkan konklusi-konklusi tersebut dengan tingkat kepastian yang juga sama. (Sebagai catatan, saya pada dasarnya setuju dengan versi prakseologi Rothbardian.)

Menarik untuk dicatat bahwa bahkan para empirisis ketat, seperti J.S. Mill, mendukung metode a priori dalam ilmu ekonomi (atau “ekonomi politik,” sebagaimana yang dikenal pada zaman Mill). Kita menemukan ini dalam esai penting Mill “On the Definition of Political Economy” (1836). Menyangkut mereka yang menolak teori abstrak dalam ekonomi, yang mengklaim bahwa ilmu ekonomi harus didasarkan hanya pada pengalaman, Mill mengatakan bahwa “mereka yang memungkiri teori tidak akan bisa melangkah lebih jauh tanpa berteori.” Dipahami secara benar, teori-teori ekonomi selalu berangkat dari pengalaman, tapi ada perbedaan krusial antara mengutip pengalaman spesifik dalam setiap kasus dengan para teoritisi yang, “berargumentasi ke atas dari fakta-fakta partikular menuju prinsip umum yang memasukkan jangkauan yang jauh lebih luas daripada yang dipertanyakan dalam pembahasan, kemudian berargumentasi ke bawah  dari prinsip umum itu menuju beragam konklusi spesifik.” Penalaran ekonomi tidak didasarkan pada induksi murni; tidak melulu generalisasi dari contoh berulang pengalaman yang sama. Bukannya bersandar pada “metode a posteriori” ini, ilmu ekonomi lebih menggunakan “metode a priori.” “Kita sadar,” lanjut Mill, “bahwa ungkapan terakhir ini (a priori) terkadang digunakan untuk mencirikan metode berfilsafat, yang sama sekali tidak berharap ditemukan lewat pengalaman,” tapi dia tidak sadar akan setiap teori politik atau ekonomi pada apa deskripsi ini akan berlaku. Dalam membela apriorisme Mill tentu saja tidak bermaksud mengabaikan bahwa teori-teori ekonomi sesungguhnya berakar dalam pengalaman. Mill menjelaskan apa yang dia maksudkan dengan “a posteriori” dan “a priori” sebagai berikut:
Dengan metode  a posteriori kami maksudkan apa yang membutuhkan, sebagai basis konklusinya, bukan pengalaman begitu saja, tapi pengalaman spesifik. Dengan metode a priori kami maksudkan (apa yang umum dimaksudkan) sebagai penalaran dari sebuah hipotesa yang diasumsikan… Dalam definisi yang kami upayakan untuk mengerangkakan ilmu Ekonomi Politik, kami mencirikannya sebagai ilmu yang secara esensial bersifat abstrak, dan metodenya sebagai metode a priori. Tidak diragukan cirinya sebagaimana yang dipahami dan diajarkan oleh semua pengajar yang paling ulung.
Saya mengutip Mill mengenai subyek ini untuk meyakinkan rekan-rekan empirisis saya bahwa mereka tidak perlu menjauh manakala bertemu dengan pembelaan atas apriorisme, karena istilah tersebut telah digunakan dalam beragam cara, dan kita bisa menemukan perbedaan makna yang signifikan dalam Mill dan Mises. Yang terakhir ini memang mengatakan bahwa kategori-kategori a priori bersifat independen dari semua pengalaman, tidak hanya pengalaman spesifik (sebagaimana yang dijelaskan Mill). Menurut Mises, kategori-kategori a priori prakseologi itu tidak bisa dikumpulkan dari pengalaman karena mereka adalah prasyarat esensial yang membuat pengalaman kita akan tindakan manusia menjadi koheren dan bermakna. Tanpa mereka, pengalaman kita akan menjadi tidak lebih dari apa yang disebut William James “kebingungan yang mekar dan berdengung.”

Dalam The Ultimate Foundation of Economic Science (1962), Mises menekankan bahwa kategori-kategori a priori “bukan ide bawaan.” Kita tidak lahir dengan ide-ide itu, tapi kita lahir dengan bentuk-bentuk pikiran yang ditentukan oleh “struktur logis pikiran manusia.” Mises (juga dalam Ultimate Foundation) meringkas hal-hal esensial dari yang a priori sebagai berikut:
Jika kita mengkualifikasikan sebuah konsep atau proposisi sebagai a priori, kita harus mengatakan: pertama, bahwa negasi dari apa yang dinyatakan tidak mungkin bagi pikiran manusia dan tampak baginya sebagai omong kosong; kedua, bahwa konsep atau proposisi a priori ini tentu tersirat dalam pendekatan mental kita terhadap semua permasalahan yang berkaitan, yaitu dalam pemikiran dan tindakan kita berkaitan dengan permasalahan ini.
Kategori-kategori a priori adalah perlengkapan mental yang dengannya manusia bisa memikirkan dan mengalami serta karenanya memperoleh pengetahuan. Kebenaran atau keabsahan mereka tidak bisa dibuktikan atau dibantah sebagaimana pada proposisi-proposisi a posteriori, karena mereka merupakan instrumen yang memungkinkan kita untuk membedakan apa yang benar atau absah dari apa yang tidak.
Ini membawa saya pada dua titik akhir yang membutuhkan klarifikasi. Pertama, Mises tidak menyatakan bahwa setiap konsep dan prinsip yang dikemukakan oleh para ekonom (dan para teoritisi sosial secara umum) bisa ditarik dari kategori-kategori prakseologi yang bersifat a priori. Sembari menetapkan bahwa beberapa prinsip kunci, seperti utilitas marjinal dan preferensi waktu, secara implisit termuat dalam konsep tindakan manusia dan karenanya bisa dibedakan dengan mengurai implikasi logis dari konsep itu, dia juga percaya bahwa prinsip-prinsip lain, seperti “disutilitas kerja,” hanya bisa ditemukan lewat pengalaman. Karenanya merupakan suatu kekeliruan, sekalipun bersifat umum, untuk melekatkan pada Mises pandangan bahwa setiap prinsip ekonomi didasarkan pada penalaran a priori.

Kedua, kita harus memahami apa yang dimaksud Mises saat dia mengatakan bahwa prinsip-prinsip a priori ilmu ekonomi tidak bisa diverifikasi pun difalsifikasi dengan pengalaman spesifik. Ini menjadi bukti klaim bagi kritik yang menafsirkan bahwa prinsip-prinsip ekonomi, menurut Mises, tidak memiliki kaitan langsung dengan pengalaman kita mengenai dunia luar dan karena itu tidak pernah bisa difalsifikasi, sebagai persoalan prinsip. Karakterisasi ini, meskipun tidak seluruhnya keliru, bukan merupakan pandangan simpatik terhadap tujuan yang hendak dicapai oleh Mises – tujuan yang dipercaya sekalipun kita tidak setuju dengan Mises mengenai sifat a priori dari konsep-konsep prakseologi. Mari kita lihat problem ini.

Fakta-fakta partikular, termasuk fakta-fakta sejarah ekonomi, tidak bisa memverifikasi pun memfalsifikasi sebuah teori ekonomi karena mereka tidak membawa makna dalam dirinya. Hanya sebuah teori yang bisa menanamkan signifikansi pada sebuah fakta spesifik, jadi bukan fakta empiris, jika dilucuti dari pemahaman teoritis atas fakta itu, bisa memfalsifikasi sebuah teori. Setelah membagi “ilmu tindakan manusia” ke dalam dua cabang utama – prakseologi dan sejarah – Mises menyatakan lebih lanjut:
Pengalaman-pengalaman dengan apa ilmu-ilmu tindakan manusia harus berurusan senantiasa merupakan pengalaman dari fenomena kompleks. Tidak ada eksperimen laboratorium yang bisa dilakukan dengan mengacu pada tindakan manusia. Kita tidak pernah berada dalam posisi mengamati perubahan dalam hanya satu unsur, di mana semua syarat lain dari sebuah peristiwa tetap tidak berubah. Pengalaman historis sebagai pengalaman dari fenomena kompleks tidak memberi kita fakta-fakta dalam arti apa ilmu-ilmu alam menggunakan istilah ini untuk menandai peristiwa-peristiwa terisolasi yang diuji dalam eksperimen. Informasi yang disampaikan oleh pengalaman historis tidak bisa digunakan sebagai bahan bagi konstruksi teori dan prediksi atas peristiwa masa depan. Setiap pengalaman historis terbuka bagi beragam penafsiran, dan pada faktanya ditafsirkan dalam berbagai cara berbeda. 
Postulat positivisme dan mazhab metafisika sejenis karenanya bersifat ilusif. Mustahil untuk mereformasi ilmu-ilmu tindakan manusia menurut pola ilmu fisika dan ilmu-ilmu alam lainnya. Tidak ada cara untuk menetapkan sebuah teori a posteriori menyangkut kelakuan manusia dan peristiwa sosial. Sejarah juga tidak bisa membuktikan atau membatalkan pernyataan umum apapun dalam cara apa ilmu-ilmu alam menerima atau menolak sebuah hipotesa berdasarkan eksperimen laboratorium. Tidak juga verifikasi eksperimental maupun falsifikasi eksperimental atas sebuah proposisi umum dimungkinkan dalam wilayahnya.
Untuk meletakkan persoalan ini secara berbeda: Sekalipun sebuah fakta empiris mengenai tindakan manusia menyebabkan kita menguji ulang sebuah teori, fakta itu sendiri, yang akan konsisten dengan banyak sekali penafsiran teoritis, tidak dapat menguatkan pun membatalkan sebuah teori. Fakta-fakta empiris spesifik bisa relevan dengan sebuah teori, sejauh mereka bisa menyebabkan kita meragukan teori tersebut, tapi mereka tidak bersifat menentukan. Dalam ilmu-ilmu manusia hanya teori yang bisa membantah teori.